teh gopek gambar bebek |
minumlah selamanya |
awas jangan diminum untuk foto teh yang berada dalam bungkus ini, tehnya sudah 5 tahun lebih terbeli. artinya sudah kadaluwarsa dan memabukkan selamanya. bungkus teh ini adalah kelebihan dari yg sudah dipajang dan dibuka untuk dicoba seduhan tehnya serta bungkusnya disimpan untuk dipajang dalam album.
bungkus teh setelah dibuka |
ini cerita sejarahnya. diambil dari website-nya teh gopek.
SEJARAH
TEH GOPEK
Perusahaan Teh Gopek didirikan di Slawi sekitar
tahun 1942, bersamaan dengan jaman penjajahan Jepang di Indonesia.
Pada awalnya, perusahaan Teh Gopek dimulai
sebagai Home Industry dengan peralatan sederhana. Teh Gopek merupakan
salah satu teh legendaris yang mempunyai cita rasa khas.
Nama Gopek mengambil makna dari pucuk daun teh yang bagus,
yaitu Golden Orange Pekoe. Selain itu, nama Gopek juga berasal dari nama
tengah 5 pemuda keluarga Kwee, yaitu Kwee PEK Tjoe, Kwee PEK Hoey, Kwee
PEK Lioe, Kwee PEK Lo alias Tjokro Hadisusilo, dan Kwee PEK Yauw alias
Tedjo Sukmono.
Alih-alih seperti pria kaya
seusianya yang lebih banyak menghabiskan masa tua di vila dengan istri
tercinta, sesekali bersama cucu-cucu, Kwee Pek Yauw lebih memilih duduk
mengawasi pabrik keluarga yang dibangun bersama keempat kakaknya sekitar
70 tahun silam. Sekilas ia terlihat masih gagah. Namun ternyata, Yauw
tak dapat lagi berinteraksi dengan orang lain terlalu lama. Maklum,
penyakit jantung dan penyakit tua lainnya kian menggelayut di tubuh
bungsu keluarga Pek ini, yang membuatnya tak boleh berbicara terlalu
lama. "Senyum dong Bah ..," celoteh para wanita setengah baya
dari balik jendela pabrik, meledek Babah Yauw yang tengah difoto
fotografer SWA Hendra Syaukani..
Gopek
lahir berkat gagasan Kwee Pek Tjoe. Awalnya, si sulung bekerja sebagai
staf administrasi di perusahaan perkebunan teh di Slawi. Ia banyak
belajar tentang bisnis teh poci dari mantan bosnya. Bekal ilmu yang
diperoleh kemudian diimplementasi Tjoe dengan mengajak keempat adiknya
membangun bisnis teh. Sayang, di tengah jalan Hoey memisahkan diri dari
Gopek.
Perpecahan itu terjadi
ketika Hoey menikah lagi -- setelah istri pertamanya meninggal dan istri
barunya tidak mau merawat anak Hoey yang masih bayi, bernama Hantoro
Ekadjaja. Akhirnya, bayi itu diasuh dan diangkat anak oleh Tjoe. Buntut
perpecahan keluarga ini, istri baru Hoey mengajak mendirikan Perusahaan
Teh 2 Tang, yang belakangan produknya lebih populer ketimbang Gopek.
Ketika Gopek harus diserahkan ke generasi kedua, Tjoe menunjuk
Hantoro sebagai penerus bisnis keluarga, dan menjadi pemegang saham
mayoritas sebesar 51%. Sementara itu, anak kandung Tjoe: Handoyo
Ekadjaja, hanya memegang 18%, dan selebihnya milik Lo dan Yauw.
Fenomena bisnis keluarga yang tak lepas dari sisi negatif,
antara lain, kecemburuan satu sama lain dalam tubuh Gopek. Yang satu
beli rumah mewah yang lain kepincut. Akhirnya, uang yang semestinya bisa
untuk modal usaha atau berekspansi terbuang percuma. Selain itu,
keputusan yang menyangkut bisnis perusahaan tidak bisa dilakukan secara
cepat, lantaran harus mempertimbangkan pendapat anggota keluarga lainnya
yang juga pemegang saham.
Boleh dibilang,
di masa generasi kedua (1940-1998) Gopek sangat ketinggalan dibanding
pesaingnya, seperti Sosro dan 2 Tang, alias jalan di tempat. Baru
setelah Hantoro lengser pada 1998 dan menunjuk putra tunggalnya,
Soediono, sebagai pewaris Gopek -- Presdir sekaligus pemegang 51% saham
geliat Gopek mulai terlihat.
Di
tangan Soediono babak baru Gopek dimulai. Generasi ketiga lulusan
pascasarjana bidang keuangan dari Australia itu mulai mengoprek Gopek.
Tahap awal, pihaknya membenahi mekanisme distribusi. Gopek yang
sebelumnya mengandalkan agen yang tersebar di Pulau Jawa, terhitung
sejak 1999 mendirikan perwakilan di beberapa kota.
Sedikitnya satu perwakilan berhasil dibangun setiap tahun
sejak 1999. Kelima perwakilan itu terdapat di Surabaya, Semarang,
Purwokerto, Slawi dan Jakarta. Kota yang menjadi prioritas pendirian
perwakilan Gopek, di mana Gopek pernah eksis, tapi penjualannya
cenderung turun. Soediono pun membuat tim spreading perluasan
area. Trimo mengakui, strategi seperti ini tak jauh berbeda dari
perusahaan teh besar seperti Sosro. Bedanya, Sosro mampu membuat
perusahaan distribusi sendiri, sedangkan di Gopek baru divisi.
Selain distribusi, status perusahaan dari firma di ubah
menjadi perseroan terbatas, yakni PT Gopek Cipta Utama. Perubahan status
usaha ini diiringi ekspansi pabrik. Yauw mengungkapkan, pabrik teh
Gopek pertama ia beli pada 1965, tak jauh dari terminal Slawi. Kemudian,
Soediono membeli bangunan pabrik persis di depan pabrik pertama,
sehingga pabrik tadi memiliki 10 mesin pemanggang. Tahun 2001, kembali
ia membangun tiga pabrik, yang masing-masing bangunan luasnya sekitar
1.000 m2. Dengan 10 mesin pemanggang, Gopek dapat memproduksi sekitar
200 karung teh (satu karung isi 30 kg) setiap hari, melibatkan sekitar
500 karyawan -- buruh dan staf kantor.
Sampai
sekarang Gopek mengandalkan proses produksi yang masih alami. Dari awal
teh hijau Gopek dicampur dengan bunga melati dan gambir. Melati
disuplai langsung dari Purwokerto, sementara gambir diperoleh dari
daerah sekitar. Untuk teh hijau, pasokan lebih banyak dari Sukabumi,
Jawa Barat. Belakangan, tak sedikit perusahaan yang menggunakan essense
(zat pewangi). Cara membuktikan teh yang menggunakan essense
dengan yang alami, cukup mudah. Cukup melihat kondisi seduhan teh
setelah beberapa jam. Yang menggunakan essense akan terlihat
langit-langit di permukaan seduhan teh tadi.
Di
generasi ketiga ini Gopek mulai berinovasi produk dengan menggunakan
strategi ekstensi merek. Yang membedakan dari masing-masing item
produk adalah logo atau gambar pada kemasan, misalnya ada teh Gopek
bergambar cangkir. Awalnya ada keinginan dari manajemen Gopek membuat
produk dengan merek teh Cangkir. Sayang, merek ini telah dipatenkan oleh
industri rumahan di Pekalongan. Kelemahannya pada pendiri terdulu, tak
terlalu memahami hak paten. Akhirnya, ketika ada yang mematenkan, tak
bisa berbuat apa-apa lagi.
Gopek merupakan
pelopor teh kering. Sayangnya, problem internal membuat perusahaan ini
tak berkembang cepat. Di pihak lain, 2 Tang mampu berlari kencang. Tak
heran, 2 Tang lebih populer dan penetrasi pasarnya lebih kuat ketimbang
Gopek. Teh kering Sosro dan 2 Tang kini menguasai pasar dengan pangsa
masing-masing 30%, sedangkan Gopek sekitar 25%. Sisanya, diperebutkan
Tong Dji dan merek-merek lain. Untuk memantapkan posisi produknya di
pasar, sejumlah rencana jangka panjang pun digelar Soediono bersama tim.
Ia akan membuat terobosan baru, antara lain, rasa lebih bagus, kemasan
lebih baik, ekspansi produk, perluasan wilayah pemasaran dan lainnya.
Tangan dingin
Soediono membuahkan hasil. Sejak 1999
perusahaan ini menuai penjualan lebih besar dibanding tahun-tahun
sebelumnya. Di tangan generasi pertama dan kedua, pertumbuhan penjualan
Gopek cuma berkisar 1%-2%, sedangkan di tangan Soediono bisa mencapai
20%. "Maklum, dulu pemiliknya tak berani mengalokasikan dana promosi,
tak berani membuka perwakilan apalagi mengintervensi pasar," tutur Trimo
yang bergabung dengan Gopek sejak 1999.
Untuk
berekspansi pasar, selain membentuk tim spreading, Gopek kini
mulai berani membuat inovasi produk dengan sistem testimonial. Artinya,
produk baru dilempar dulu ke pasar. Bila minat orang mengonsumsi produk
ternyata tinggi, barulah secara serius dipasarkan dengan dukungan
promosi yang gencar.
Tak mudah bagi
Gopek melancarkan serangan lebih gencar. Pasalnya, perusahaan ini harus
berhadapan dengan pesaing tangguh yang punya sejumlah cara menghadang
pasar. Tak sedikit produsen teh besar yang melakukan trik sangat kasar,
seperti memborong teh yang mereka anggap sebagai pesaing -- termasuk
Gopek -- dan menimbunnya. Bahkan gimmick hadiah ke pedagang,
misalnya gelas, tak sedikit yang diborong, dikumpulkan lalu dihancurkan.
Pertarungan sengit di lini distribusi bagi pemain di bisnis produk
konsumsi memang kerap tak terhindarkan. Kita tunggu saja, seperti apa
kelanjutan kebangkitan teh Gopek.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar